• Posted by : firdachivers Minggu, 16 Oktober 2016

                Aku sering menyebut tempat ini dengan sebutan Afrika Van Bali, panas yang menyengat ketika kemarau tiba, dedaunan kering, dan pepohonan hanya menyisakan ranting-ranting untuk burung bertengger diatasnya. Ya, itulah alasanku menyebutnya demikian, karna panas yang menyengat bak padang pasir. Terlalu banyak kisah yang kulewati di tanah rantau ini, 4 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk berjuang demi sebuah gelar sarjana perikanan di belakang namaku dan berjuang melawan segala rasa sakit yang timbul karna seseorang yang aku perjuangkan, seseorang yang bahkan tak pernah menjanjikan masa depannya untukku. Namun inilah aku dengan segenap kisah yang telah kulalui bersama mereka, sahabat-sahabat terbaikku, teman seperjuanganku dan engkau, paduka cinta yang selalu ingin kugenggam hatinya.
                Hari ini, aku bergegas kembali menuju tempat itu, tempat dimana aku merangkai berjuta kisah indah nan pilu, ingin mengenang kembali segala yang terjadi dahulu ketika aku dan mereka bersama-sama mengukir cerita serta melukis rindu.  Kisah yang kini hanya menyisakan kenangan serentak bermunculan diotakku, berlomba-lomba menghiasi pikiran yang sedang kembali ke ranah masa lalu, masa lalu yang selalu kurindukan. Mengenang kembali awal aku menyandang status sebagai seorang mahasiswa, menjalani serangkaian kegiatan kampus yang harus dijalani, bertemu teman-teman baru dan beradaptasi dengan mereka, dan itu bukan hal yang sulit bagiku saat itu, karna dalam kisahku, aku memiliki begitu banyak cerita dengan tingkat kesulitan yang berbeda, dan kau tau? Kisahku dengan lelaki itu menjadi bagian terumit dalam hidupku. Bahkan hingga detik aku menulis kisah ini aku belum mampu menghapus jejaknya dalam ingatan. Rekam jejaknya terlalu kuat untuk dilupakan. Walaupun aku sadar, bahwa mengingatnya hanya menorehkan luka teramat dalam.
                Tak banyak yang berubah dari tempat ini, gedung-gedung masih sama seperti dahulu, hanya saja ada sedikit perbaikan yang membuatnya semakin terlihat menarik, beberapa gedung baru mulai dibangun di lahan yang ketika itu ditumbuhi pepohonan dan penuh dengan semak-semak liar. Aku berjalan seorang diri, menapak tilas segala yang terjadi pada masa yang tak akan kembali. Ah, aku mulai terbawa oleh suasana melankolis ini. Hati dan ragaku belum cukup menyatu untuk kembali menapakkan langkah kaki di tanah ini.
    Saat ini ragaku memang sedang berada di tanah masa kini, namun hatiku tak berubah, ia tidak berpindah, ia tetap berada di deretan masa lalu yang selama ini berusaha aku lupakan tapi tak pernah mampu. Mereka tak salah jika berkata melupakan adalah hal tersulit, sekeras apapun kau berusaha, kau tak kan mampu, semua akan sia-sia, itu justru membuatmu semakin ingat dengan apa yang ingin kau lupakan. Jadi biarkan saja semua berjalan dengan sendirinya, suatu saat kau akan tau bagaimana semua ini berakhir. Dan kau harus siap dengan segala hal yang akan terjadi di akhir kisah. Entah ia akan berakhir bahagia atau tidak itu bukanlah sebuah masalah, karna adalah salah satu bagian dari skenario Tuhan yang telah tertandatangani sebelum kau tiba di dunia, kau harus menerima segala yang terjadi.

    Bukit Jimbaran, Penghujung Tahun 2020

    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • - Copyright © Firda Nurdiana - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -